DENPASAR - Pulau Bali tak hanya dikenal sebagai destinasi wisata papan atas di tanah air. Pulau Dewata juga menyimpan kekayaan budaya religi yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah Kelenteng Caow Eng Bio. Rumah ibadah umat Konghucu ini letaknya di ujung utara dari Desa Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Posisinya berada tepat di sudut pertemuan antara Jl Segara Lor dan Jl Segara Ening, Kuta Selatan.
Jika dari pusat kota di Denpasar, kita dapat menjangkaunya melalui perjalanan darat selama 40 menit termasuk melewati kawasan pariwisata terpadu Nusa Dua. Letaknya berada di antara permukiman penduduk dan beberapa pura, tempat persembahyangan umat Hindu Bali. Sepasang shishi atau patung batu berwujud singa sedang duduk mengapit pintu masuk menjadi penanda keberadaan Caow Eng Bio.
Bangunannya mengadopsi arsitektur khas Tiongkok seperti bagian atap melengkung, dan ukiran naga pada beberapa sudut atap. Dinding kelenteng didominasi warna merah dan kuning keemasan serta aksen hijau pada atap gapura dan pagoda. Sebuah papan nama beraksara Tionghoa dan latin digantungkan pada gerbang masuk akan langsung menyambut siapa saja yang datang. Baris pertama tulisan beraksara Tionghoa yaitu dn róng zho yìng serta tulisan latin Caow Eng Bio.
Umat Konghucu di wilayah Kabupaten Badung dan sekitarnya kerap beribadah ke kelenteng ini terutama ketika hari-hari penting termasuk saat perayaan Tahun Baru Imlek. Tempat ini menjadi satu-satunya kelenteng di Indonesia terdapat Dewi Laut atau Shui Wei Shen Niang di mana patung sejenis hanya ada di empat negara lainnya di dunia, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan tentu saja Tiongkok.
Bahkan di wilayah utara Thailand, hampir tiap rumah penduduk keturunan Hainan memiliki altar persembahan untuk Dewi Shui Wei Shen Niang. Masyarakat keturunan Hainan memanggilnya dengan nama Caw Mae Thab Thim, sedangkan warga keturunan yang mendiami Pasar Wang Thong di Provinsi Phitsanulok lebih suka memanggilnya Caw Mae Thong Kham.
Shui Wei Sheng Niang adalah dewi yang dipuja oleh masyarakat asal Hainan di seluruh dunia, utamanya pada daerah-daerah di tepi laut. Umat Konghucu asal Hainan memujanya bersama Ma Zu atau Tian Shang Sheng Mu, dewi baik hati penolong para nelayan di lautan dan pelindung etnis Tiongkok di Asia Tenggara. Dewi Laut Shui Wei Shen Niang yang hari ulang tahunnya dirayakan tiap tanggal 15 bulan 10 Imlek juga kerap disandingkan oleh umatnya bersama 108 Xiongdi Gong atau 108 Pahlawan Suci.
Tak hanya patung Dewi Laut, 108 Xiongdi Gong, dan Ma Zu saja, karena di Caow Eng Bio juga terdapat altar pemujaan bagi sejumlah dewa atau dewi lainnya seperti Dewa Naga, Cao Eng Kik Liek, dan Dewi Kwan Im. Seperti dikutip dari Chinatownology, Caow Eng Bio dibangun oleh para pelaut Hainan asal Desa Dong Chiao, Kabupaten Wenchang, Tiongkok pada 1548 lampau. Para pelaut inilah yang turut menyumbang papan nama di gerbang kelenteng.
Hal itu diperkuat oleh pengakuan Dewan Pertimbangan Caow Eng Bio, yakni Nyoman Suarsana Ardika, yang merujuk pada sebuah prasasti milik kelenteng. Sebelum berdirinya kelenteng, para pelaut Hainan hanya memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai lokasi persembahyangan. Ini lantaran mereka hanya sebentar saja berada di Tanjung Benoa, baru 2-3 bulan kemudian kembali lagi.
Kawasan Tanjung Benoa sejak lama dijadikan para pelaut Hainan sebagai lokasi berlindung dari hantaman badai dan angin barat saat berlayar. Bahkan, mereka jauh lebih dulu menginjakkan kaki dibandingkan warga asli Bali lantaran kawasan tersebut masih berupa hutan lebat. Bangunan kecil dengan altar pemujaan tadi merupakan tempat mereka mengungkapkan rasa syukur kepada Dewi Laut karena telah melindungi perjalanan di lautan.
Setelah sekian lama hanya berbentuk bangunan kecil, pada 1800-an, kelenteng diperbesar setelah mendapatkan hibah lahan dari Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan ke-10. Sejumlah barang di Caow Eng Bio didatangkan langsung dari daratan Tiongkok seperti lonceng yang telah berusia di atas 200 tahun, prasasti batu di depan kelenteng bertuliskan nama-nama marga penyumbang pembangunannya.
Prasasti dibuat di Tiongkok pada 1879 dan dipasang di Tanjung Benoa pada 1882. Altar persembahyangan utama yang telah berusia ratusan tahun juga dibuat di Tiongkok. Seluruh barang yang didatangkan dari bumi Tiongkok tadi terjadi ketika masa pemerintahan ke-8 Kaisar Guangxu. Sejumlah barang dan prasasti beraksara Tionghoa sempat disembunyikan pengelola kelenteng karena dilarang pada masa Orde Baru.
Sebelum kembali dipasang usai runtuhnya Orde Baru, prasasti dari batu pualam itu sempat patah menjadi tiga bagian seperti yang disaksikan oleh siapa saja yang berkunjung ke kelenteng ini. Selain prasasti, di halaman kelenteng tertua kelima di Nusantara ini juga terdapat bangunan pagoda. Sedikit keluar dari bangunan inti kelenteng, ada bangsal untuk balai pertemuan warga dan patung perahu berkepala naga.
Menariknya, pintu gerbang luar kelenteng dibangun berbentuk gapura beronamen khas Bali, seperti yang kerap disaksikan ketika akan memasuki bangunan pura atau rumah adat setempat. Kelenteng ini menjadi salah satu objek wisata religi andalan Pemerintah Kabupaten Badung.
Tak hanya umat Konghucu saja, karena warga dari agama lain sering berkunjung ke rumah ibadah ini untuk berwisata sambil menikmati kemegahan bangunan buah karya tangan-tangan terampil dari ratusan tahun lampau dan masih terjaga sampai hari ini. (Indonesia.go.id)
Editor : Redaksi