KPK Stop Dugaan Korupsi Rp 4,5 T, Status DPO Konglomerat ini Dicabut

Redaksi


KPK Stop Dugaan Korupsi Rp 4,5 T, Status DPO Konglomerat ini Dicabut

Sjamsul Nursalim

BACASAJA.ID - Untuk pertama kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim.

Menariknya, kasus yang dihentikannya ini merupakan skandal korupsi besar, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sebelumnya ditaksir merugikan negara Rp 4,5 triliun.

Terbaru, usai SP3 kasus itu, KPK juga bakal mencabut status daftar pencarian orang (DPO) Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim. "Iya karena sudah dihentikan (kasusnya) maka status bukan tersangka lagi," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Minggu (4/4/2021).

Menurut dia, KPK bakal mengurus pencabutan DPO pada Sjamsul Nursalim dan istrinya ke pihak Imigrasi. Karena, ada beberapa urusan administrasi yang harus diselesaikan dalam pencabutan DPO.

Untuk diketahui, Sjamsul dan Itjih kabur ke Singapura dan menetap di sana, sampai akhirnya KPK mengeluarkan SP3 pada 1 April 2021. Sebelum ini, keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada 2019, kemudian berstatus buron atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) lantaran tak bersikap baik saat dipanggil untuk diperiksa.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan bahwa penerbitan SP3 kasus BLBI sesuai dengan Pasal 40 Undang-Undang KPK. "Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 UU KPK," kata Alex.

Bahkan Alexander Marwata memberi sinyal bahwa kasus BLBI bukan perkara terakhir yang akan dihentikan proses penyidikannya.  Menurut dia, ada beberapa kasus yang tersangkanya sudah tidak bisa lagi mengikuti pemeriksaan, sehingga ada kemungkinan untuk diterbitkan SP3.

“Ada beberapa kasus lama yang tersangkanya itu sudah ada yang tidak bisa lagi mengikuti pemeriksaan karena yang bersangkutan sakit parah atau sakit permanen,” papar Alex.

“Kami tidak ingin menggantung nasib seseorang dalam ketidakpastian,” lanjut dia.

Menanggapi hal itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan penghentian perkara BLBI merupakan dampak buruk revisi UU KPK. "Perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya dikutip Minggu (4/4/2021).

Kurnia menjelaskan problematika kewenangan pemberian SP3 di KPK. Aturan dalam Pasal 40 UU KPK bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004.

Kala itu, kata Kurnia, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan.

"Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," tandas Kurnia seperti dilansir tempo.co.

Menurut Kurnia, polanya pun dapat beragam. Misalnya, negosiasi penghentian perkara dengan para tersangka atau dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.

Ihwal SP3 BLBI, Kurnia menilai, keputusan KPK terlalu dini dan terkesan ingin melindungi kepentingan pelaku. Ia menuturkan KPK semestinya mendapatkan keterangan dari Sjamsul Nursalim maupun Itjih untuk melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara.

Meski begitu, Kurnia melihat penghentian perkara oleh KPK ini bukan berarti menutup kemungkinan menjerat Nursalim kembali pada waktu mendatang.

"Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," tandasnya. (int/bsi)