Epideminolog: Surabaya Perhatikan Tingkat Resiko Rencana Sekolah

bacasaja.id
Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dr Windhu Purnomo

BACASAJA.ID | Surabaya - Rencana Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana untuk mulai menyelenggarakan sekolah tatap muka akan segera di bahas dengan Dinas Pendidikan Kota Surabaya.

Whisnu menjelaskan bahwa pembahasan yang akan dilakukan terkait persiapan sekolah tatap muka.

“Awal tahun setelah liburan ini kita rapatkan. Dinas Pendidikan sudah saya instruksi untuk memberi laporan detail persiapan untuk tatap muka,” ungkapnya, pada Rabu (30/12/20).

Di sisi lain, Whisnu juga menggandeng Dinas Kesehatan untuk memantau perkembangan Covid-19 pasca liburan tahun baru. Ia melihat bahwa keputusan untuk membuka sekolah tatap muka akan bergantung pada kondisi paska liburan tahun baru.

“Kondisi paska liburan tahun baru harus dilihat seperti apa. Kalau memang memungkinkan, kita coba akan dengan kapasitas yang minim dulu. Kalau tidak memungkinkan di tunda dulu,” jelasnya.

Terkait rencana tersebut, Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dr Windhu Purnomo mengatakan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya perlu meninjau tingkat resikonya.

Menurutnya, meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim membebaskan keputusan sekolah tatap muka di tiap daerah, namun Pemkot Surabaya harus melihat kondisi dan situasi.

“Tertuang dalam SKB 4 Menteri, bahwa tidak ada perintah untuk membuka sekolah. Tapi pembukaan sekolah diserahkan pada daerah masing-masing. Tidak tergantung pada zona, tidak tergantung pada tingkat resiko di daerahnya. Tapi kan menteri kan ngomong bahwa meski diserahkan pada daerah masing-masing, tapi tolong diperhatikan tentang tingkat resikonya,” tutur Windhu.

Windhu juga menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki tugas utama untuk melindungi warga, termasuk anak-anak. Ia menyebut bahwa anak-anak punya resiko rentan untuk terjangkit virus. Dua persen di antara anak-anak yang terdata sekolah masih di bawah usia 15 tahun.

“Angka tersebut memang paling kecil dibandingkan yang lain. Sekarang ini ada 600 ribu yadi Indonesia. Kalau di jatim ada sekitar 600 ribu. Kalau dihitung 2 persennya berapa orang? Banyak kan? Fatality rate yang meninggal antara 2-3 persen,” jelasnya.

Lanjutnya, bila di hitung, maka ada 12 ribu anak-anak di bawah umur 5 tahun di Indonesia. Untuk usia di bawah 17 tahun, total 8 persen.

“Jadi katakan anak-anak SMA itu kan sampai umur 17. Ditotal dengan anak PAUD adalah 8 persen berarti 56 ribu di Indonesia ini anak-anak di bawah 17 tahun,” imbuhnya.

Dari angka tersebut, Windhu mengkalkulasikan kemungkinan penyebaran virus bila sekolah tatap muka tetap dilaksanakan. Misalnya, resiko anak sebagai penular bagi orang tuanya. Ia berharap Pemkot memperhitungkan kemungkinan itu.

“Bukan melihat anaknya saja. Semisal anak ini ketularan di sekolah, tetapi meski mereka hanya sekolah dan baik baik saja dan lebih kuat dari yang dewasa. Tapi mereka ini nanti pulang ke rumah, di rumah ada orang tua, atau kakek neneknya yang punya komorbid. Jadi ini berbahaya,” tuturnya

Windhu mengajak seluruh pihak untuk melihat keputusan sekolah tatap muka secara keseluruhan. Windhu mengaku percaya dengan protokol kesehatan yang diterapkan di sekolah. Namun, penyebaran virus bisa tetap terjadi di berbagai tempat.

“Misal antar jemput. Saya percaya protokol kesehatan sekolah sudah bagus. Tapi harus memperhatikan semuanya. Termasuk antar jemputnya harus dikendalikan oleh sekolah tidak boleh naik kendaraan umum, berangkat langung ke sekolah pulang langsung ke rumah. Tetapi sekarang kan tidak, jadi liatnya harus sebuah potret besar,” pungkasnya. (Ind)

Editor : Redaksi

Hukum
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru