GM-Keren Pertanyakan FGD PI 10 Persen Hasil Migas untuk Siapa?

bacasaja.id

BACASAJA.ID - FGD bertajuk PI 10% untuk Siapa? telah dilaksanakan oleh GM-KEREN (Gerakan Masyarakat Untuk Kedaulatan Energi) yang terdiri dari beberapa ORMAS dan OKP se-Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Secara substantive, FGD ini membahas rencana perubahan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi.

Diskusi dibuka dengan pengantar dari moderator, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia Dia Puspitasari bahwa revisi Permen ESDM 37 Tahun 2016 memantik respon di kalangan para pemuda dan mahasiswa Sumenep.

Bagaimana dominasi peran pemerintah dengan legitimasi hukum kaitannya dalam pelaksanaan Hak Menguasai Kekayaan Alam Minyak dan Gas Bumi ini semakin signifikan?

Muncul sebuah critical thinking dari kelompok intelektual yakni GM-KEREN.

Penyusunan draft revisi disinyalir dilakukan secara diam-diam, apalagi pembahasan hanya berkutat soal PI 10 persen. Sehingga, memicu kecurigaan publik khususnya di kalangan pemuda dan mahasiswa.

 Narasumber pertama Ketua Komisi I DPRD Sumenep, Bung Darul menyampaikan bahwa PI 10% baik direvisi ataupun belum direvisi tidak ada implikasi terhadap peningkatan Pendapatan Daerah dan angka kemiskinan secara umum dan khususnya di Sumenep, lalu untuk apa dilakukan revisi?

PI menjadi hak privilege (istimewa) sebesar 10% yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah.

Ada beberapa pasal karet yang ada dalam draft revisi tersebut, di antaranya Pasal 1, Bab ketentuan umum definisi PI berbeda dengan definisi dalam Permen 37/2016 (“Permen”).

Dalam revisi disebutkan dengan tegas PI adalah 10%, sedangkan dalam Permen disebutkan maksimal 10%, ini menjadi point yang ambigu, lalu Pasal 20 Revisi, SKKMIGAS/ESDM dapat menunda PI jika kondisi menyebabkan PI tidak efektif, harus disertai penjelasan dan argumentasi yang jelas.

Pasal 25 bahwa PI dapat diberikan sampai min 2,5% berdasarkan rekomendasi kepala SKKMIGAS, dengan mempertimbangkan keekonomian wilayah, apakah hal ini bermakna sebagai pengurangan dari definisi 10%?

Pasal 26 (6), ada tambahan sanksi untuk kontraktor yang sebelumnya tidak diatur dalam Permen, berupa teguran tertulis jika tidak melaksanakan permen, pasal 26 (7), jika tidak melaksanakan teguran tertulis dala jangka waktu 60 hari sejak diberikan teguran tertulis, menjadi bukti pelanggaran kontraktor, dan dapat dijadikan alasan pengakhiran kontrak kerja sama.

Narasumber kedua Ketua APSI Jatim (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia), Bung Sulaisi mengatakan bahwa terbukti, banyak perusahaan besar yang menanamkan modalnya di Bumi Arya Wiraraja ini untuk melakukan eksplorasi Migas.

Hal itu diantaranya Kangean Energi Indonesia (KEI), HCML lepas pantai Pulau Raas dan Pulau Sepudi, Energi Mineral Langgeng dan Medco Energi dengan jumlah lifting ribuan barel yang bernilai miliaran rupiah.

Lantas apakah berkah kekayaan alam Sumenep ini dapat memberikah manfaat kesejahteraan masyarakat? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, angka kemiskinan di Kabupaten Sumenep pada tahun 2021 berada pada angka 20,5 persen.

Terdapat peningkatan jika dibandingkan tahun 2020 dalam catatan BPS Sumenep tercatat penduduk mikin sebesar 220,23 ribu orang.

Ada peningkatan penduduk miskin sebesar 8,25 ribu orang 0,70 persen. Karena pada tahun 2019 berdasarkan angka garis kemiskinan sebesar Rp357.473, data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumenep menunjukkan bahwa penduduk miskin di Sumenep tahun 2019 sebesar 211,98 ribu orang atau 19,48 persen.

Bahkan Sulaisi menduga, PI 10 persen ini mengalir hingga ke Bupati saat ini. Sebab sepanjang tahun 2011 hingga 2015 perusahaan BUMD PT WUS sebagai pengelola PI migas memiliki kantor perwakilan di Jakarta dan Kepala kantornya adalah Bupati saat ini yang kapasitasnya sebagai penerima kuasa daru Direktur PT WUS.

Narasumber ketiga KNPI Jatim, Bung Faisal menurutnya gerakan penolakan publik ini wajar dan sudah semestinya harus terjadi karena selain salah satu menifestasi dari cita-cita para pendiri bangsa untuk memastikan setiap kekayaan alam yang dimilik oleh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.

Revisi ini bisa jadi untuk kepentingan koordinasi dua wilayah yang berbatasan di dua provinsi.

Revisi peraturan tersebut erat kaitannya dengan kepentingan kontestasi elektoral 2024 mendatang. Sebab selama ini pada faktanya nominal PI 10 persen tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar lokasi eksploitasi migas.

“Amanat UUD dimana setiap kekayaan alam yang kita miliki, harus diperuntukkan kepada rakyat,” pungkasnya.

“Jangan sampai ini hanya menjadi kepentingan elite politik. Dimana hanya menjadi tabungan rekening para elite politik baik daerah maupun nasional untuk ongkos politik pada pemilu serentak 2024.

"Bahkan, dalam FGD ini kami sudah mengundang Menteri ESDM, Kepala SKK Migas, KSP Deputi 1 secara bersamaan mereka mangkir dan tidak ada perwakilan sama sekali untuk menjelaskan kepada kami, masyarakat yang membutuhkan penjelasan langsung mengenai urgensi Revisi Permen ESDM 37 Tahun 2016 ini.

"Sebagai followup dari FGD kemarin, dalam waktu dekat kami akan menyampaikan aspirasi masyarakat khususnya para pemuda dan mahasiswa Sumenep secara langsung kepada Kepala SKK Migas, Kementrian ESDM dan Deputi I KSP agar menindaklanjuti dan meninjau ulang urgensi dari adanya revisi tersebut untuk apa," tanya Faisal.

Di akhir sesi FGD, para peserta sebanyak 54 pemuda dan mahasiswa yang terkoordinir dalam GM-KEREN (Gerakan Masyarakat Untuk Keadilan Energi) hadir melakukan penolakan dalam bentuk tanda tangan melalui petisi.

Sikap ini sangat jelas bagi mereka sebagai bentuk memerankan agent of change and agent of control dalam rangka mengkritisi dan mengawalkebijakan pemerintah untuk masyarakat Indonesia secara umum, khususnya masyarakat Sumenep, sebab kedaulatan rakyat hadir juga melalui kedaulatan energi. (*/RG4)

Editor : Redaksi

Hukum
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru