BACASAJA.ID - Sengketa perkara tambang batubara di Kalimantan Tengah antara PT. TGM dan PT. KMI sudah bergulir dalam ranah hukum pidana dan perdata sejak 2019. Sengketa tersebut diduga melibatkan oknum-oknum Ditjen AHU yang melakukan perubahan data perseroan PT KMI.
Sengketa hukum ini berawal dari adanya perjanjian kerjasama operasi produksi batubara dan bagi hasil antara PT. TGM dan PT. KMI pada tahun 2012. Perjanjian tersebut yang saat ini berujung menjadi sengketa hukum di pengadilan dan kepolisian.
Kuasa hukum PT. TGM, Onggowijaya mengatakan, permasalahan hukum muncul saat PT. KMI melakukan wanprestasi dan diduga melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah pidana, yang saat ini sedang ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
Selain itu, diduga terjadi perubahan riwayat data perseroan PT KMI, yang menimbulkan ketidakpastian hukum sebagai akibat perubahan riwayat data perusahaan yang diduga dilakukan secara ilegal. Hal ini diketahui saat kuasa hukum PT. TGM mencoba mengunduh perseroan PT. KMI pada 9Juni 2021 guna menguatkan pembuktian dalam perkara yang berlangsung.
Berdasarkan data perseroan PT KMI yang berasal dari Ditjen AHU, didapat fakta bahwa pada 13 Mei 2009, berdasarkan Akta Notaris No: 152 yang dibuat oleh Notaris Drajat Darmadji, susunan pemegang saham dan pengurus PT. KMI atas nama Raswan dan Santoso Wijaya.
"Namun anehnya ketika kami men-download ulang data perseroan PT. KMI pada 26 Februari 2022 ternyata susunan pemegang saham dan pengurus PT. KMI berdasarkan Akta Notaris 152, yang dibuat oleh Notaris Drajat Darmadji telah berubah menjadi Wang Xiu Juan dan Santoso Wijaya. Bagaimana mungkin Ditjen AHU dapat melakukan perubahan data perseroan berdasarkan akta notaris yang sama dan pada tanggal yang sama," ujar Onggowijaya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/3/22).
Menurut pria yang karib disapa Onggo ini, dengan adanya perubahan riwayat data perseroan oleh Ditjen AHU yang diduga dilakukan oleh oknum-oknum Ditjen AHU telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini juga berpotensi menimbulkan masalah hukum baru terhadap pihak-pihak yang bersengketa.
Dia menegaskan, pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Ditjen AHU yang saat ini dapat diakses secara daring, tentu jejak digital tidak dapat dihapus begitu saja.
“Kami sudah melaporkan secara tertulis terkait hal ini ke Menkumham dan instansi terkait termasuk KPK untuk menindaklanjuti temuan ini. Siapa yang bermain? Sehingga dengan mudahnya mengganti data perseroan yang dapat memiliki akibat hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa," ucapnya.
Perubahan data perseroan pada Sisminbakum, kata Onggo, sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran, Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran, Badan Hukum Perseroan Terbatas.
"Kami berharap Menkumham dapat memerintahkan jajarannya untuk memeriksa siapa siapa oknum yang diduga bermain mengganti data perseroan. Apakah tata cara penggantian data perseroan tersebut telah sesuai menurut peraturan yang berlaku?," katanya.
Onggo menjelaskan, sengketa yang terjadi antara PT. TGM dan PT. KMI ini sangat unik. PT. TGM yang didirikan pada tahun 2008 selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara yang sah di Kalimantan Tengah diklaim secara sepihak oleh PT KMI yang menyatakan PT. KMI adalah pemilik PT. TGM. PT. KMI mengklaim bahwa uang pendirian PT. TGM berasal dari PT. KMI.
Selain itu PT. KMI pada persidangan di Pengadilan menyatakan secara tegas bahwa telah berinvestasi sekitar Rp 600 miliar di lokasi tambang PT. TGM. Atas semua klaim masing-masing pihak, maka salah satu bukti yang diajukan ke pengadilan adalah data perseroan dari Sisminbakum AHU online, yang dapat merunut peristiwa hukum dalam perkara sengketa tambang batubara antara PT. TGM dan PT. KMI.
Onggo memaparkan, PT. KMI berdiri tahun 2005 dan PT. TGM berdiri tahun 2008, hubungan hukum antara PT.TGM dan PT. KMI lahir pada tahun 2012 saat penandatanganan kerjasama operasi produksi dan bagi hasil. Selain itu, susunan pengurus dan pemegang saham PT. TGM dan PT. KMI berbeda orangnya.
"Jika PT. KMI mengklaim bahwa uang pendirian PT. TGM berasal dari PT. KMI, maka mengapa PT. KMI tidak mendirikan PT. TGM menggunakan nama sendiri? Dan silakan buktikan apakah ada uang dari PT. KMI yang digunakan untuk mendirikan PT. TGM, apalagi PT. KMI berdiri lebih awal yakni pada tahun 2005. Dan yang lebih menakjubkan adalah data perseroan pada Sisminbakum AHU Online diduga bisa disulap dengan mudah," jelasnya.
Lebih lanjut Onggo menerangkan, kasus bermula saat PT. KMI yang melakukan penambangan di lokasi PT. TGM, dan tidak membayar uang bagi hasil, padahal batubara sudah dijual ke Tiongkok dan dalam negeri. Karena diduga PT. KMI melakukan wanprestasi, maka PT. TGM tidak mau menandatangani dokumen, sehingga PT. KMI menganggap PT. TGM menghambat kerjasama.
"Kami juga mempertanyakan apakah investasi sekitar Rp 600 miliar, sebagaimana diakui PT KMI tersebut itu dilaporkan ke Dirjen Pajak? Karena pengakuan di persidangan adalah alat bukti sempurna dalam hukum acara perdata. Oleh karenanya Kami menghimbau Dirjen Pajak memanggil PT. KMI guna dilakukan penyelidikan apakah terdapat dugaan tindak pidana perpajakan dan siapa saja yang terlibat, serta dari mana sumber uang sekitar Rp 600 miliar tersebut. Dalam perkara ini pihak PT. KMI diduga telah menghubungi banyak pihak untuk ikut campur dalam sengketa hukum ini, oleh karenanya Kami menghimbau agar tidak ada pihak-pihak yang mengintervensi perkara hukum ini," pungkasnya. (RG4)
Editor : Redaksi