BACASAJA.ID - Sudah bukan rahasia umum lagi kalau COVID-19 adalah sebuah krisis global yang telah merenggut nyawa lebih dari dua juta orang di seluruh dunia. Namun di balik itu, adalah sebuah fakta juga kalau terdapat beberapa negara yang berhasil menangani krisis kesehatan tersebut, jauh lebih baik daripada negara yang lain.
Dalam sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan di The Lancet, terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan budaya yang 'lebih ketat', dengan tingkat kepatuhan yang lebih kuat pada norma-norma sosial dan tindakan disipliner yang lebih tegas, memiliki kendali yang jauh lebih besar terhadap infeksi COVID-19
Pada bulan Oktober 2020, negara-negara yang mendapat skor tertinggi pada tingkat 'kelonggaran' budaya melaporkan hampir lima kali lebih banyak kasus COVID-19 dan hampir sembilan kali lebih banyak kematian.
Science Alert, Sabtu (13/2/2021) merilis, psikolog budaya Michele Gelfand mengungkapkan, memerangi penyakit menular membutuhkan sikap negara untuk bekerja sama dan berkoordinasi dalam skala besar dengan menerapkan dan mengikuti aturan ketat.
"Ini semua adalah ciri yang kurang dalam budaya yang lebih luwes," ungkap Michele.
Dalam penelitian itu, ditemukan bahwa, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, Inggris Raya, Israel, Brasil, Spanyol, dan Italia, negara-negara yang memiliki budaya ketat seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Austria, lebih cepat menanggulangi krisis, dalam hal ini COVID-19.
Bahkan, Singapura juga telah menjadi salah satu yang terbaik dalam menanggulangi virus mematikan ini. Pada Oktober 2020, analisis Our World In Data menunjukkan negara ini mengalami hampir 10.000 kasus per juta orang dan hanya lima kematian per satu juta orang.
Pada saat yang sama, Brasil dan AS memiliki lebih dari 24.000 kasus per juta orang dan kira-kira 700 kematian per satu juta.
Sementara itu, menggunakan data dari survei terpisah di 22 negara, Michele Gelfand dan rekan-rekannya menemukan orang yang tinggal di budaya yang lebih longgar, jauh lebih tidak khawatir tentang tertular COVID-19 daripada orang yang tinggal di negara yang lebih ketat, meskipun peluang mereka terinfeksi lebih rendah.
"Ini sangat mengejutkan bagi kami karena rasa takut biasanya meningkat selama ancaman kolektif," kata Gelfand. (lnc/scn/rg4)
Editor : Redaksi