BACASAJA.ID - Muhammad Alim, eks hakim konstitusi, meninggal dunia di Makassar pada usia 76 tahun. Dia adalah hakim konstitusi periode 2008-2015 dari unsur Yudikatif/Mahkamah Agung.
"Innalilahi Wa Innailihi Rojiun. Telah meninggal dunia Bapak Muhammad Alim pagi ini pukul 06.00 WIB di Makassar," kata juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono kepada wartawan, Rabu (18/8/2021).
Baca juga: Hormati Putusan MK, PDIP Ajak Masyarakat Kembali Fokus Membangun Jawa Timur
MK menghaturkan bela sungkawa atas dipanggilnya Muhammad Alim ke Rahmatullah. Selama berdinas bertugas di MK, dia dikenal sebagai hakim yang amanah, penuh dengan integritas dan berjiwa negarawan.
"Rencana dimakamkan di TMP Makassar," ujar Fajar.
Rekan seprofesi Muhammad Alim, hakim konstitusi Arief Hidayat mengingat koleganya itu telah mengukir prestasi dengan sumbangan pemikiran dan konsep melalui putusan-putusan MK. Menurut Arief, Alim juga sudah mewujudkan warna khas bagi putusan MK.
"Warna Ketuhanan Yang Maha Esa, warna islami dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi itu memang betul menghiasi banyak putusan Mahkamah Konstitusi terutama berasal dari pemikiran-pemikiran Yang Mulia Bapak Dr. Muhammad Alim," ungkap Arief pada pisah sambut Muhammad Alim pada April 2015 lalu.
Dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi, Muhammad Alim lahir pada 21 April 1945. Dia menghabiskan masa kecilnya di Batu Sitanduk, Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Alim kecil kurang beruntung. Ayahnya, Singgih, meninggal dunia selang beberapa tahun setelah Alim lahir. Alim pun tak kuasa mengingat wajah ayahnya. Sejak itu hanya sang ibu, Zaenab, dan kedua bibi yang mengasuh dan membesarkannya. Dukungan keluargalah sebagai kata kunci kesuksesan Alim.
“Saya sekolah bukan karena ibu saya sanggup, tapi karena dibiayai oleh adik ibu saya,” katanya.
Dengan menjahit, sedikit demi sedikit bibinya mengumpulkan rupiah. Kasih sayang kedua bibi Alim tertumpah padanya karena mereka tidak memiliki keturunan.
Jalan panjang Muhammad Alim ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) bermula dari sebuah sepeda kumbang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya bibinya tidak membelikannya sepeda ketika ia diterima di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Syarat Pencalonan Presiden, Said Abdullah: Kami Tunduk dan Patuh
“Jarak antara kampus dengan rumah famili tempat saya menumpang 5 km. Kalau harus jalan kaki tak sanggup. Mau bayar becak dari mana duitnya?” ujar Alim mengenang peristiwa pada 1965 itu.
Muhammad Alim menggeluti karirnya sebagai praktisi hukum. Mengawali karir di bidang hukum dengan menjadi CPNS di Pengadilan Tinggi Ujung Pandang pada tahun 1975. Lima tahun kemudian, suami dari Hj. Rospati ini diangkat sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Sinjai.
Setelah itu beliau berpindah-pindah dari PN Poso, PN Serui, PN Wamena, PN Surabaya, PT Jambi, PT. DKI Jakarta, PT Kendari sebagai Wakil Ketua dan diangkat sebagai Ketua PT Sulawesi Tenggara sebelum akhirnya disumpah sebagai Hakim Konstitusi oleh Presiden RI pada tanggal 26 Juni 2008.
Bagi Alim, MK merupakan lembaga ikon reformasi di bidang hukum.
“Saya sangat bersyukur masuk di sini karena kita betul-betul mandiri, tidak ada satu putusan yang tanpa melalui perdebatan,” katanya.
Baca juga: Dok! Mahkamah Konstitusi Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wapres
Selain itu, undang-undang yang diuji juga beragam. Jadi, ia terpaksa harus membaca lagi undang-undang itu.
“Kalau di peradilan umum kan agak monoton,” ujarnya.
Misi MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi sudah benar di mata Alim. Apalagi hakim konstitusi diharapkan bersifat sebagai seorang negarawan.
“Artinya visinya untuk kepentingan negara, bukan kepentingan sesaat,” katanya.
Sebagai hakim konstitusi, ia akan menjalankan tugasnya mengalir sesuai kehendak Tuhan. Ia akan tetap berusaha berbuat yang terbaik menurut kemampuannya.
“Itu kan pengabdian. Itu amal saleh namanya dalam perspektif Islam,” ujar ayah dari 7 putra-putri ini. (mkri/rg4)
Editor : Redaksi