SURABAYA - DPRD Surabaya menyesalkan langkah Pemkot Surabaya yang akan menonaktifkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan BPJS pasien tuberkulosis (TBC) yang tidak mau berobat rutin. Pemkot melalui Dinas Kesehatan seharusnya melakukan sosialisasi dan pendekatan yang lebih baik.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Dr. Michael Leksodimulyo, MBA,M.Kes mengatakan sebaiknya Pemkot tidak langsung memutus NIK pasien, mengingat masih banyak pasien yang belum memahami kebijakan tersebut. Hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak melanggar hak asasi manusia.
"Dinonaktifkannya NIK, kalau kita kaji lagi bisa melanggar hak asasi. Seharusnya ada pendekatan yang lebih bagus lagi. Tadi diusulkan Komisi D sebaiknya ada sosialisasi. Jangan tiba-tiba diputus KTP nya. Sebaiknya kebijakan itu dipikirkan kembali atau ditunda karena banyak elemen masyarakat yang belum mengerti," jelasnya dilansir RRI.
Baca Juga: Legislator PDIP: Kawal Dana Kelurahan Surabaya Rp 509 Miliar!
Selain itu, Michael juga menyoroti kesiapan dinas kesehatan jika ternyata ditemukan pasien dengan TBC mau mengikuti anjuran, apakah bisa kembali mengaktifkan NIK tersebut dengan segera. Sebab kaitannya juga dengan beberapa aspek penting lainnya seperti bantuan hingga pendidikan.
Michael juga menyoroti kesiapan Dinas Kesehatan jika pasien yang sebelumnya tidak patuh akhirnya mengikuti anjuran pengobatan. Ia mempertanyakan apakah proses pengaktifan kembali NIK tersebut dapat dilakukan dengan mudah, mengingat pentingnya akses bantuan sosial dan pendidikan terkait dengan KTP.
Baca Juga: Usai Disidak Wawali Surabaya Armuji, Kini DPRD Panggil Pengusaha yang Diduga Tahan Ijazah Warga
"Andaikan pasien mau berobat sesuai anjuran dinkes, berapa lama KTP yang dimatikan bisa aktif lagi? Jangan sampai ketika dia sudah minum obat-obatan, sudah teratur, lalu kesulitan kembali mengaktifkan NIK. Padahal dia punya akses bantauan beras, pendidikan dll itu dari KTP. Apakah kebijakan itu sudah dipikirkan dengan bijaksana? Atau sudah keputusan baku? Saya mohon penonaktifan KTP terhadap pasien "bandel" terapi TBC bisa dikaji," lanjutnya.
Michael menambahkan, jumlah pasien yang tidak patuh dengan anjuran tidak besar. Mereka bisa ditracking seperti saat covid lalu ataupun bekerjasama dengan LSM yang sudah berpengalaman dalam melakukan pendampingan pasien. Kebijakan sebaiknya dilakukan secara edukatif bukan represif.
Baca Juga: Anggota DPRD Surabaya Soroti Pembangunan SMP Negeri Baru di Tambak Wedi
"Pasien bisa ditracking kemana dia bekerja, bagaimana dia melakukan aktifitasnya. Kalau kita covid bisa lulus tentunya tracking TBC pun mudah. Pasien yang bandel itu tidak terlalu besar, atau bisa kerjasama LSM seperti ASPA yang bisa mendampingi lebih edukatif, jangan represif. Jika represif nanti ada penentangan yang jauh lebih kuat," tambahnya.
Sebelumnya, Pemkot Surabaya menyatakan terus berupaya melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit TBC dengan pemberian pengobatan gratis secara rutin serta menerapkan sanksi sosial terhadap pasien TBC yang tidak mau diobati atau mangkir berobat rutin. Bentuk sanksi sosial yang akan diberlakukan salah satunya adalah, menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) pasien TBC. (*)
Editor : Redaksi