Bolehkah Membatalkan Tunangan?

bacasaja.id
Dr. Moh. Makmun, M. HI.

Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan terkait boleh tidaknya membatalkan khitbah/tunangan/lamaran. Kalau tunangan sudah dilangsungkan, namun ingin membatalkan karena sesuatu hal, bagaimana hukumnya dalam Islam?

Perlu diketahui bahwa Khitbah () secara bahasa berarti penyampaian kehendak untuk melangsungkan pernikahan. Kata ini terdapat di dalam QS. Al-Baqarah: 235. Ulama Fikih mengartikan khitbah dengan makna menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan ini.

Khitbah adalah meminta atau menanyakan seseorang yang tidak memiliki suami ataupun istri untuk bersedia menjadi pasangannya. Baik meminta atau melamar tersebut dilakukan sendiri atau melalui orang kepercayaannya.

Peminangan merupakan proses muqaddimah sebelum waktu pelaksanaan akad nikah. Meminang sudah dilakukan atau menjadi kebiasaan Arab sejak lama yang dilanjutkan oleh agama Islam. Peminangan pun sudah membudaya di masyarakat dan dilakukan sesuai dengan tradisi masyarakat tersebut, sehingga tidaklah mengherankan jika prosesi atau tata cara peminangan antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda.

Terkait hal tersebut, ulama fikih tidak menyinggung pembahasan tentang tata cara peminangan. Sejarah mencatat, dalam tradisi Islam yang mengajukan pinangan adalah dari pihak laki-laki. Boleh calon suami itu sendiri yang datang ke pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya.

Sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan. Sebagai rangkaian pra nikah, khitbah merupakan ajang atau sarana kedua belah pihak baik secara pribadi maupun bersama dengan keluarga besar untuk saling mengenal, mengetahui dan memahami satu sama lain. Sehingga tidak akan ada istilah “Sudah terlanjur meminang” atau “Sudah terlanjur menerima pinangan”.

Tentunya sebelum proses khitbah, seseorang harus menentukan orang yang akan dipilih menjadi pasangan hidupnya itu sudah sesuai dengan kriterianya dan kriteria berdasarkan petunjuk agama. Sehingga setelah proses khitbah, maka dilanjutkan menuju jenjang akad nikah dan resepsi.

Namun demikian, tidak jarang seseorang baik laki-laki yang mengkhitbah maupun wanita yang dikhitbah menemukan persoalan tertentu yang menyebabkan kegamangan dan kegalauan dalam melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang pernikahan.

Kegamangan tersebut bisa saja karena menemukan sifat dan perilaku calon pasangannya yang tidak sesuai ketika sebelum khitbah, atau adanya faktor-faktor lain. Sehingga salah satu pihak berkeinginan untuk membatalkan khitbah yang telah terjadi.

Menurut Wahbah al-Zuhayliy, Khitbah merupakan sekedar janji pernikahan, bukan pernikahan. Sehingga antara yang meminang dan yang dipinang statusnya masih sebagai orang lain. Mereka tidak halal melihat wanita yang dipinangnya kecuali pada bagian yang dibolehkan dilihat oleh syariat, seperti wajah dan kedua telapak tangan.

Sedangkan menurut Syaikh Nada Abu Ahmad, jika wali dari seorang wanita melihat ada kemaslahatan dalam hal membatalkan pinangan anaknya, maka ia boleh menarik kembali janji untuk menikahkan anaknya tersebut.

Bahkan wanita itu sendiri juga berhak untuk membatalkan pinangan, jika ia tidak suka dengan peminang.

Hukum membatalkan khitbah ada beberapa macam. Bisa makruh, jika tanpa ada alasan yang jelas dan alasan yang berlandaskan syari’at. Hukumnya bisa mubah atau boleh, jika ada alasan yang kuat, rasional dan sesuai dengan landasan syariat.

Ada pertimbangan jika dilanjutkan ke jenjang ke pernikahan akan banyak menimbulkan madharat daripada kemaslahatan. Sehingga upaya preventif membatalkan khitbah mengacu pada kaidah Asasi (al-Qawaid al-Asasiyah) yang berbunyi: (Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan). Kaidah turunan dari kaidah tersebut adalah: “Apabila terjadi perlawanan antara maslahah dan mafsadah, maka harus diperhatikan mana yang lebih rajah (kuat) di antara keduanya”.

Juga kaidah “Menolak kemudaratanlebih utama daripada meraih kemafsadatan”. Atau kaidah yang hampir sama maknanya: “Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan” dan juga “Menolak bahaya didahulukan daripada mengambil manfaat”.

Beberapa ulama seperti al-Ghazali, al-Shatibi, Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khallaf memberikan syarat kemaslahatan. Pertama, kemaslahatan harus sesuai dengan maqasid al-shari‘ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulliy dan dalil qat’iy baik wurudmaupun dalalahnya. Kedua, kemaslahatan harus meyakinkan, artinya kemaslahatan berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat. Ketiga, kemaslahatan membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas. Keempat, kemaslahatan memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.

Dengan demikian, proses pembatalan peminangan dilakukan dengan pertimbangan yang cukup matang dengan beragam alasan yang rasional dan sesuai dengan ukuran kemaslahatan dan kemafsadatan yang sudah digariskan oleh para ulama. Jika wali anak wanita yang dipinang ataupun wanita yang dipinang menemukan sebuah hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti si lelaki yang meminang tidak menjalankan ajaran agama, suka bermaksiat, suka berjudi, berperangai buruk yang tidak bisa dirubah sehingga membayakan wanita saat sudah menjadi istrinya dan juga membayakan anak mereka jika sudah menikah, maka membatalkan khitbah tersebut hukumnya boleh.

Perlu digaris bawahi pembatalan peminangan bukan karena materi, harta, tahta jabatan, rupa penampilan dan atau sesuatu yang tidak prinsip dalam agama.

Tentunya membatalkan khitbah juga harus dengan komunikasi yang baik sehingga meminimalisir menyakiti hati salah satu pihak. juga memikirkan dampak jika khitbah tersebut dibatalkan. Dan tentunya, hal yang demikian mengajarkan kita semua untuk selektif dalam memilih calon pasangan hidup sebelum melangsungkan prosesi khitbah. (*)

Dr. Moh. Makmun, M. HI.

Founder House of Sakinah dan Dosen Pascasarjana Unipdu Jombang

Editor : Redaksi

Hukum
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru