Anggota DPR dari PDIP Ini Tolak Vaksin Covid-19, Efikasi Dipertanyakan

author bacasaja.id

- Pewarta

Selasa, 12 Jan 2021 17:05 WIB

Anggota DPR dari PDIP Ini Tolak Vaksin Covid-19, Efikasi Dipertanyakan

i

Ribka Tjiptaning, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

BACASAJA.ID - Di saat Presiden Jokowi akan menjadi orang pertama yang divaksin Covid-19 pada Rabu (13/1/2021) besok, justru ada politisi PDIP yang tak sepakat dengan kebijakan vaksinasi. Sikap ini ditunjukkan Ribka Tjiptaning yang duduk di Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Dengan tegas Ribka Tjiptaning menyatakan menolak vaksinasi Covid-19. Kader senior PDIP ini mengatakan ia akan lebih memilih membayar denda bagi seluruh keluarganya ketimbang dipaksa disuntik vaksin.

Baca Juga: Jadi Polemik Dunia, Vaksin COVID-19 AstraZeneca sudah Tidak Beredar di Indonesia

"Saya tetap tidak mau divaksin. Saya udah 63 (tahun) nih, mau semua usia boleh tetap (tidak mau). Misalnya pun hidup di DKI semua anak cucu saya dapat sanksi lima juta mending gue bayar, mau jual mobil kek," kata Ribka saat Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K. Lukito, dan Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir, Selasa (12/1/2021).

Mengutip dari tempo.co, aturan ihwal denda ini sebelumnya sempat dinyatakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah DKI menyatakan akan menerapkan denda Rp 5 juta bagi warga yang menolak divaksin.

Ribka mengklaim banyak kasus vaksin yang ternyata berdampak buruk bagi kesehatan. Dia mencontohkan, ada penderita polio di Sukabumi, Jawa Barat yang malah mengalami lumpuh layu seusai divaksin antipolio.

"Terus antikaki gajah di Majalaya mati dua belas (orang). Karena di India ditolak, di Afrika ditolak, masuk di Indonesia dengan 1,3 triliun waktu saya ketua komisi. Saya ingat betul itu, jangan main-main vaksin ini, jangan main-main," beber Ribka.

Ribka pun mewanti-wanti pemerintah tak boleh memaksa vaksinasi Covid-19 kepada yang menolak. Pemaksaan, kata dia, adalah bentuk pelanggaran HAM. Ribka pun menyinggung kebijakan pemerintah menggratiskan vaksin Covid-19.

Dia mempertanyakan vaksin mana yang akan digratiskan bagi warga. Sebab, akan ada sejumlah vaksin yang beredar di Indonesia dengan rentang harga dari Rp 116 ribu hingga Rp 2 juta.

Ia mencurigai vaksin yang murah akan diberikan kepada masyarakat yang miskin. Ribka mencontohkan perbedaan harga tes swab yang hasilnya keluar lebih cepat jika masyarakat merogoh kocek lebih banyak.

EFEK VAKSIN COVID-19

Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan secara keseluruhan uji klinik menunjukkan vaksin Covid-19 aman dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan hingga sedang.

"Yaitu efek samping lokal berupa nyeri, iritasi, pembengkakan, serta efek samping sistemik berupa nyeri otot, retik, dan demam," kata Penny dalam konferensi pers virtual, Senin (11/1).

Menurut BPOM, efikasi vaksin Sinovac yang diujikan di Indonesia sebesar 65,3 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan Turki dan Brasil. BPOM juga sudah memberikan izin penggunaan darurat atau Emergency Authorization (EUA) dari vaksin Covid-19 Sinovac asal China tersebut.

Namun, angka efikasi vaksin yang dinilai lebih rendah, menarik perhatian dan pertanyaan terkait kemanjuran dan dampak signifikan dari vaksin yang rencananya mulai divaksinasikan pada Rabu (13/1/2021) besok.

Baca Juga: Ratusan Keluarga Nelayan Menerima Vaksinasi Covid-19

Sebab, angka efikasi vaksin Covid-19 Sinovac yang diujikan di Turki nilainya mencapai 91,25 persen dan di Brasil, efikasinya mencapai 78 persen.

ARTI EFIKASI 65,3 PERSEN

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Zullies Ikawati, meminta masyarakat tidak khawatir terkait efikasi vaksin Sinovac 65,3% . Menurutnya, vaksin Sinovac yang memiliki efikasi 65,3%, dan dari segi keamanan dinyatakan aman. Efek samping ada dilaporkan, tetapi ringan dan bersifat reversible.

"Kekuatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brazil," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Namun ia melanjutkan, banyak orang bertanya, kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ya? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90% ?

Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.

Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong). Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%.

Baca Juga: Hati-hati, Belum Divaksin Lebih Beresiko Terpapar Covid-19

"Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak," terang dia.

Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.

"Misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3%," paparnya.

Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

"Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yg terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah," terangnya.

Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25%) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%.

"Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda," ungkap Zullies Ikawai. (ril/net/ti)

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU