SURABAYA - Kasus meninggalnya seorang siswa SMP Kristen Angelus Custos Surabaya, SK (15 tahun), yang diduga akibat tersengat listrik outdoor AC, masih dalam penyelidikan polisi. Kejadiannya berada di rooftop SMA Frateran yang masih satu kompleks dengan SMP tersebut.
Kejadian yang dialami korban terjadi pada Jumat, tanggal 28 Maret 2025 lalu. Namun baru timbul polemik setelah orangtua korban, Tanu Hariyadi (41) membuat aduan ke Polrestabes Surabaya pada 10 April 2025 bernomor STTLPM/549/IV/2025/SPKT/Polrestabes Surabaya.
Hal ini diterangkan Ketua Tim Kuasa Hukum SMPK Angelus Custos, Tjandra Sridjaja. Disebutkan kronologi sebelum SK diduga tewas akibat tersengat listrik, yang bermula pada Senin, 24 Maret 2025, ia menghubungi salah satu guru lewat WhatsApp dan meminta izin soal latihan Ujian Praktik (Uprak).
"Tanggal 24 Maret 2025 malam, dia minta ijin ke Wakil Kepala Sekolah, Donatus. Ada bukti chat WhatsAppnya. Korban minta ijin akan latihan Ujian Praktik di rumah temannya C," katanya, Sabtu (10/5/2025).
Karena di luar jam sekolah, sebagai guru Donatus menyarankan agar latihan Uprak sebaiknya dilakukan di sekolah saja. Namun, korban disebut tak ingin latihan di sekolah karena dinilai kurang efektif.
"Kemudian besoknya, Selasa tanggal 25 Maret 2025, diperintahkanlah penjaga sekolah untuk membuka laboratorium supaya dipakai korban dan kawan-kawan untuk latihan Uprak," tambahnya.
Laboratorium itu telah dibuka sejak pukul 08.00 WIB, namun hingga pukul 17.00 WIB menjelang sekolah tutup, kelompok SK ini tidak belum mendatangi laboratorium tersebut untuk latihan Uprak.
Keesokan harinya, Rabu tanggal 26 Maret 2025, penjaga sekolah tetap membuka laboratorium sejak pukul 08.00 WIB. Hal serupa itu dilakukan hingga tanggal 27 Maret 2025. Namun lagi-lagi, kelompok SK ini tidak berkunjung ke laboratorium tersebut.
"Tetapi tiba-tiba tanggal 28 Maret 2025 tanpa pemberitahuan, tanpa ijin, mereka datang ke SMP Angelus Custos untuk latihan Uprak," lanjutnya.
Karena di tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, maka SMPK Angelus Custos itu tutup. Terlebih, kelompok SK ini tidak mengirim pemberitahuan untuk latihan Uprak di sekolah.
"Karena waktu itu tanggal 28 libur Hari Raya Nyepi dan tidak ada pemberitahuan, sehingga tidak ada satupun guru yang tau, maka sekolah ini tutup," ungkapnya.
Nah pada saat itu, kelompok SK ini latihan Uprak di rooftop SMAK Frateran. Menurut keterangan rekan korban, mereka memasuki area SMAK Frateran melalui pintu belakang, yakni tempat asrama para siswa SMAK tersebut.
Dalam rekaman CCTV, mereka terlihat mengenakan pakaian bebas dan sedang latihan Uprak di sebuah gazebo kecil. Sampai tiba-tiba, dengan motif dan alasan yang kurang jelas, SK ini terlihat menaiki sebuah pagar.
"Setelah mereka selesai latihan, korban entah kenapa membuka sepatunya, naiklah pagar. Dia kesulitan lalu lewat sisi lain, dari sana dia turun," paparnya.
Pada waktu itu, kata Tjandra, kondisi selesai hujan sehingga masih ada sedikit genangan air di sekitar outdoor AC. Setelah berhasil menaiki pagar, tiba-tiba tubuhnya terlihat kaku beberapa detik sebelum terkulai lemas.
"Pada waktu dia turun, sebelum jatuh dia pegangan besi. Setelah dia jatuh, temannya semua teriak-teriak. Dia kemudian dibawa ke RS Adi Husada Undaan menggunakan mobil sekolah," terangnya.
Sesampainya di RS Adi Husada Undaan, dokter setempat menyatakan bila SK telah meninggal dunia. Saat itu, kata Tjandra, ada tawaran dari dokter untuk keluarga Tanu apakah diperlukan otopsi terhadap jasad korban.
"Dijawab tidak perlu oleh keluarganya. Karena keyakinan agamanya dia Kong Hu Cu tidak boleh dilakukan seperti itu," urainya.
Jasad SK kemudian dimakamkan pada Kamis, tanggal 3 April 2025. Beberapa pihak sekolah dan yayasan turut menghadiri acara pemakaman korban. Kemudian pada Minggu tanggal 6 April 2025, pihak sekolah berinisiatif datang ke kediaman korban, namun ditolak.
Selanjutnya di tanggal yang bersamaan, Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Frateran mendapat informasi bila pihak keluarga korban menuntut sekolah tersebut untuk meminta maaf dan mengaku bersalah, dan akan dilaporkan ke pihak kepolisian.
"Mengingat saudara Tanu ini seorang advokat, kalau pada waktu itu merasa ada dugaan tindak pidana, maka harusnya saat itu juga dia melapor ke polisi ataupun melakukan otopsi," tegasnya.
Bahkan, bukti berupa rekaman CCTV sudah diberikan kepada orangtua korban. Namun kata Tjandra, Tanu tetap supaya sekolah ini mengaku salah dan meminta maaf.
"Tetapi kesempatan untuk silaturahmi, kesempatan untuk bertemu, mereka menutup pintu. Sampai saya meminta bantuan kepada Kabid Pembelaan Peradi DPC Surabaya, bisa dicek itu. Sampai 3 kali, dan kemarin baru direspons bahwa Pak Tanu mau ketemu tanggal 13 Mei 2025," pungkasnya. ***
Editor : Redaksi