Jika Awak KRI Nanggala-402 Nekat Berenang, Tubuhnya Bisa Hancur

bacasaja.id
KRI Nanggala 402 (Wikipedia)

BACASAJA.ID - Nasib ke-53 awak KRI Nanggala-402 masih menjadi tanda tanya, setelah kapal selam ini dinyatakan tenggelam di perairan Bali. Apalagi kapal buatan Jerman itu tenggelam di kedalaman laut 850 meter.

Dengan kedalaman itu, sangat berisiko bagi para awak kapal jika keluar dari kapal dan berenang ke permukaan. Jika nekat, sama saja dengan nekat bunuh diri.

Baca juga: 53 Rumah Pahlawan Nanggala-402 Resmi Diserahkan Terimakan ke para Ahli Waris

Dikutip dari laman Schmidt Ocean Institute, manusia hanya mampu bertahan di dalam air dengan tekanan maksimal 3-4 atm (atmosfer). Tekanan hidrostatis air meningkat 1 atm setiap kedalaman 10 meter.

Sementara, tekanan air di kedalaman 850 meter itu adalah 850 atm. Pada kedalaman itu, air akan masuk dengan sangat cepat dan membanjiri isi kapal dalam hitungan detik.

Berenang di dasar laut tidaklah sama dengan kondisi air di kolam renang. Berenang di kedalaman air 850 meter, akan terasa seperti kepala diinjak oleh 100 ekor lebih gajah.

Akibatnya, gendang telinga manusia akan pecah, paru-paru mampat, dan pada akhirnya pecah. Setelah itu, pembuluh darah dan semua organ tubuh akan menyusul hancur.

Sementara untuk keluar dari kapal selam tidaklah mudah. Pintu kapal selam dirancang dengan rumit agar air laut tidak masuk. Kapal selam tidak memiliki pintu darurat yang dapat dibuka dengan mudah seperti halnya pintu darurat pesawat.

Lalu bagaimana cara menyelamatkan diri jika kapal selam bocor? Seperti dilansir indozone.id, di dalam kapal selam ada kompartemen penyelamat yang tidak bisa dimasuki air karena memiliki sistem isolasi saat bagian lain kapal selam telah bocor.

Di situlah kru kapal selam dapat menyelamatkan diri.  Namun, peluang kru kapal untuk bisa selamat juga bergantung pada kedalaman air di mana mereka tenggelam.

Sekali lagi, berada di kedalaman 850 meter adalah hal yang mustahil bagi manusia untuk dapat bertahan hidup

Baca juga: Eri Cahyadi & Cak Ji Menangis saat Beri Bantuan Keluarga KRI Nanggala

Sementara itu, ahli kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Ir. Wisnu Wardhana, M.Sc., Ph.D mengatakan, Selat Bali, tempat di mana kapal selam KRI Nanggala 402 hilang kontak, adalah selat dengan arus tercepat di Indonesia. Selat itu juga banyak palungnya.

“Dasar laut itu tidak rata, tidak seperti lapangan. Ada gunungnya, lembah. Ini yang membuat KRI Nanggala-402 belum terdeteksi,” kata Wisnu dikutip dari Radio Suara Surabaya.

Wisnu memperkirakan, kemungkinan kapal selam yang mengangkut 53 awak ini posisinya menghujam ke dasar laut dan berada di karang yang tertutup atau rongga palung.

Posisi KRI Nanggala yang dia perkirakan berada di 500 sampai 700 meter di bawah permukaan air juga mengkhawatirkan. Sebab desain dan usia kapal selam buatan 40 tahun silam itu, seharusnya maksimum bisa menyelam sampai 200 meter saja.

“Tekanan hidrostatik di kedalaman 500 sampai 700 meter itu antara 50 sampai 70 bar. Sedangkan desain maksimum hanya bisa menahan 20 bar saja,” papar Wisnu.

Baca juga: Beasiswa Anak Kru KRI Nanggala, Ketua Baznas Gresik: Kita Welcome

Dia ibaratkan efek tekanan hidrostatik itu seperti meremas telur. Kalau Pressure Hull (lambung tekanan) kapal selam sudah retak, air dengan tekanan besar akan masuk sehingga mesin dan sonar tidak berfungsi sama sekali.

“Di dalam pressure hull itu tempat kru. Ada permesinan di situ, ada tangki minyak, ada baterai. Jadi kalau sampai minyaknya keluar, kesimpulan saya pressure hull-nya rusak. Pressure hull ini sudah membentur dasar sehingga dia retak,” ujar Wisnu.

Wisnu menjelaskan pressure hull berfungsi melindungi awak, mesin, baterai, tangki ballast, tangki bahan bakar di dalam kapal selam. Di dalam pressure hull, tekanan udara diatur selayaknya tekanan udara di darat.

“Meskipun saya tidak mengesampingkan tangan-tangan Tuhan, tapi secara teori itulah yang terjadi. Saya pikir semua tim pencari sudah maksimal dengan segala keterbatasan alat yang ada,” ujarnya.

Kecelakaan kapal selam di laut ini, menurutnya, yang pertama kali terjadi di Indonesia. Menurut Wisnu, ini pengalaman dan refleksi Indonesia sebagai negara yang memelihara alutsista lama. Bagaimana melakukan update dari maintenance alat produksi lama. (int/bsi/net)

Editor : Redaksi

Hukum
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru