JAKARTA: Pemerintah Indonesia diharapkan bisa menjelaskan kepada Amerika Serikat (AS) mengenai metode pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), hingga Sertifikat Halal yang dikritik pemerintahan Donald Trump.
Demikian diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Prof. Telisa Aulia Felianty. Menurutnya, Amerika tidak bisa mengintervensi mengenai QRIS hingga GPN.
Baca Juga: Melonjak! Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp7.100 Triliun
"Perihal ini menggunakan sistem pembayaran mandiri dan memerapkan standar halal produk. QRIS,, memudahkan masyarakat dan dunia usaha sampai sektor usaha terkecil," kata Prof. Telisa Aulia Felianty dalam pwrbincangan dengan RRI Pro 3 yang dilansir laman RRI, Rabu (30/4/2025).
“Sementara sertifikasi halal adalah hal mendasar. Tidak bisa di otak-atik oleh AS mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim," sambung dia.
Apalagi, lanjutnya, serifikasi halal bukan hanya sebagai tanda kehalalan sebuah produk. Tapi juga sudah menjadi standar kesehatan dan kebersihan produk.
Jangan sampai, katanya, pemerintah menuruti keberatan AS soal dua hal tersebut. Sebab, hal tersebut bagian dari kebijakan kedaulatan ekonomi negara
Baca Juga: Dukung Pertumbuhan UMKM, QRIS Bank Jatim Ramadan Vaganza Sukses Digelar
“Apabila AS keberatan karena tidak menggunakan produk sistem pembayaran mereka (visa dan master), maka bersaing saja dengan QRIS menggunakan tarif murah. Intinya, pemerintah harus bisa menjelaskan dua hal itu jika ini menjadi bagian dari poin negosiasi tarif dari pihak AS,” ujarnya.
Perihal ini, ia mengaku, heran kenapa hanya sistem pembayaran Indonesia (QRIS) saja yang mereka permasalahkan. Padahal, bukan hanya Indonesia saja, tapi negara ASEAN lain punya sistem pembayaran mandiri, tidak bekerja sama dengan AS (visa dan master).
Sebelum itu, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) telah mengungkap hambatan perdagangan internasional mereka. Hambatan-hambatan itu tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang terbit pada 31 Maret 2025.
Baca Juga: BI Sebut Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp6.374 Triliun, Dipakai Apa?
Dokumen itu memaparkan kebijakan-kebijakan Indonesia seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), QRIS, dan sertifikasi halal menghambat perdagangan AS. Dilansir dari NTE 2025, AS keberatan dengan kebijakan halal yang membuat barang impor harus melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menguji kehalalannya.
Pihak AS menganggap bahwa kebijakan halal di Indonesia tidak transparan. Selain itu, memberatkan eksportir, termasuk dari negara dijuluki Paman Sam tersebut.
Di sisi lain, transaksi perbankan digital di Indonesia terus tumbuh pesat, dengan pembayaran digital diperkirakan meningkat 36,1 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, serta volume transaksi yang juga meningkat 35,3 persen. (*)
Editor : Redaksi