BACASAJA.ID - Angka kasus Covid-19 di Tulungagung dalam beberapa Minggu ini alami lonjakan. Tak hanya kasus positif, jumlah kematian pun alami kenaikan.
Disaat beberapa orang kesulitan mencari rejeki di kala pandemi, ada beberapa orang yang justru mendapat untung berlipat.
Baca Juga: Hati-hati, Belum Divaksin Lebih Beresiko Terpapar Covid-19
Salah satunya adalah pembuat peti mati. Panggil saja Supono (70) dan Suhajar (60), warga RT. 4/ RW. 7 Dusun Kedungtaman Desa/Kecamatan Kedungwaru.
Kedua pria paruh baya ini sudah mengawali usahanya membuat peti mati sejak tahun 1984 silam.
“Awalnya untuk memenuhi kebutuhan perkumpulan,” ujar Suhajar.
Peti mati dibuat dari kayu lapis atau biasa disebut partikel setebal 1,5 cm, lembar kayu partikel panjang berukuran sekitar 2x1 meter bisa dibuat 5 peti mati, dengan ukuran 180x48x32 cm.
Satu peti mati dijual dengan harga 360 ribu rupiah. Harga peti naik sekitar sebulan terakhir, lantaran harga bahan baku partikel naik sekitar 30 ribu per lembarnya.
Meski demikian, peti buatannya tak melulu dihargai sebesar itu. Jika pembeli peti mati dari keluarga kurang mampu, dirinya hanya menarik seikhlasnya saja.
“Kalau RT nya ngomong keluarga enggak mampu, saya berikan saja,” kata Suhajar.
Permintaan peti juga mengalami kenaikan dalam sebulan terakhir. Jika kondisi normal, sehari hanya membuat 2-3 peti mati.
Namun dalam sebulan terakhir permintaan peti mati naik 5-6 peti mati tiap harinya.
Bahkan beberapa waktu lalu ada pesanan dari RSUD dr. Iskak sebanyak 40 peti mati dalam sehari, namun dirinya menolak karena tidak mampu melayani pesanan peti mati itu.
Baca Juga: Banyak Kasus Covid-19 Di Sekolah, Dinkes Lakukan Tes Usap Masal
“Yang mengerjakan Cuma 1 orang (Supono) saja,” jelasnya.
Selain itu peralatan yang digunakan masih menggunakan peralatan manual, bukan mesin.
Sebelumnya dirinya merupakan penyuplai peti mati untuk RSUD dr. Iskak.
Pembuatan peti mati ini dilakukan oleh Supono. Sedang Suhajar sebagai pemilik modal pembuatan peti mati ini.
Untuk satu peti mati yang dibuat, Supono mendapat upah sebesar 70 ribu rupiah.
Supono tak mau tergesa-gesa membuat peti mati ini. Raga tuanya sudah tak mampu untuk diajak bekerja berat.
Baca Juga: 3 Pegawai Positif Covid-19, Lapas Tulungagung Lockdown
Untuk mengerjakan peti mati ini, dirinya hanya berbekal gergaji, palu, pengukur (meteran), dan pensil.
“Satu peti biasanya sekitar 2 jam,” kata Supono.
Sebelum membuat peti, biasanya dirinya menggergaji partikel sesuai pola yang telah dibentuk. Sekali menggergaji untuk beberapa peti.
Supono mengerjakan pembuatan peti mati ini di depan rumahnya yang berada dalam gang sempit.
Teras rumahnya yang berukuran sekitar 2x4 meter dipergunakan sebagai tempat kerja sekaligus penyimpanan partikel. (tag/JP).
Editor : Redaksi