GRESIK - Data Pemkab Gresik menyebutkan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) mayoritas mereka bergabung perguruan silat dan gangster. Mereka umumnya terlibat kasus kekerasan dan pengeroyokan.
Kepala UPTD PPA Gresik Ratna mengatakan, ada beberapa macam kasus ABH yang mereka tangani. Rata-rata kekerasan yang berujung fatal, mulai pengeroyokan hingga menyebabkan luka parah.
Baca Juga: Pria Sidoarjo Ditemukan Tewas Membusuk di Kamar Kos Driyorejo Gresik
“Dalam kasus perguruan (silat), pelaku tidak hanya satu orang, bisa mencapai 4 hingga 8 orang. Begitu juga dengan gangster, kami tidak menghitung berdasarkan jumlah kasus, tetapi berfokus pada anak yang membutuhkan pendampingan,” kata Ratna, Selasa (11/2/2025).
Pada 2023, ABH menjadi yang tertinggi dalam kasus kekerasan di Gresik. Rinciannya terdiri dari 111 pelaku laki-laki dan 5 pelaku perempuan. Rata-rata umur pelaku 13-17 tahun.
Pada 2024, angka tersebut menurun menjadi 82 kasus. Kendati demikian, kasus kekerasan yang melibatkan anak tetap menjadi perhatian serius, terutama karena dampaknya yang luas bagi korban maupun pelaku.
Ratna memaparkan, negara mewajibkan pendampingan hukum bagi anak yang menjadi pelaku kejahatan. Proses hukum dimulai dari kepolisian, lalu UPTD PPA mengambil peran dalam mendampingi anak hingga persidangan.
"Kami juga mengajukan agar anak-anak ini ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Blitar, bukan di rutan bersama orang dewasa," jelas Ratna.
Baca Juga: Bunuh Diri dengan Loncat dari Lantai 30 Icon Apartement Gresik, ART ini Tulis Pesan Sedih ke Mamanya
LPKA sendiri bertugas untuk membina anak-anak tersebut. Mereka diberikan keterampilan dengan harapan tak terjerumus kembali ke jurang yang sama.
Selain pendampingan hukum, UPTD PPA bersama Dinas Sosial dan pekerja sosial (peksos) juga berupaya agar anak-anak ini tetap bisa melanjutkan pendidikan yang layak.
"Kami berkoordinasi dengan Dinas pendidikan dan sekolah-sekolah agar anak tidak dikeluarkan dari sekolah," katanya.
Baca Juga: Gerak Cepat! Bupati Gresik Gus Yani Berhasil Bentuk Koperasi Merah Putih di 223 Desa
Menurut Ratna, faktor utama yang menyebabkan anak terlibat aksi kekerasan adalah disfungsi keluarga dan pencarian jati diri di usia remaja. Salah pergaulan juga menjadi faktor pemicu.
"Di usia pubertas, mereka ingin menunjukkan eksistensi. Jika lingkungan sosialnya salah, mereka bisa terseret ke dalam kelompok-kelompok berbahaya," urainya.
Meski tren ABH di Gresik menurun tahun lalu, pemerintah daerah terus mengintensifkan upaya pencegahan. Mereka aktif melakukan sosialisasi agar anak tidak salah pergaulan hingga melakukan kejahatan. (*)
Editor : Redaksi