JAKARTA - Aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan publik. Perusahaan ini, yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), beroperasi di salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, memicu kekhawatiran serius dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan masyarakat adat. Yang menambah kompleksitas isu ini adalah adanya nama besar seperti tokoh ormas keagamaan hingga pensiunan jenderal dalam jajaran petinggi perusahaan.
PT Gag Nikel sendiri berdiri pada tahun 1997 dan memegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 13.136 hektar di Pulau Gag. Mayoritas saham PT Gag Nikel dimiliki oleh Antam (75%), sementara 25% sisanya dikuasai oleh PT Kharisma Starvision Plus.
Baca Juga: Tutup Izin Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Mufti Anam: Jangan Jadi Manuver Sesaat
Mengutip dari laman PT Gag Nikel, jabatan direktur utama (dirut) ditempati oleh Arya Arditya Kurnia. Sedang jabatan komisaris diduduki oleh empat orang, yaitu Hermansyah, Lana Saria, Ahmad Fahrur Rozi, dan Saptono Adji.
Hermansyah menjabat sebagai Presiden Komisaris dari PT Gag Nikel. Sedang Lana Saria adalah komisaris sekaligus pejabat eselon II dari Kementerian ESDM sebagai Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba.
Lalu, ada Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur yang merupakan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027.
Terakhir ada Saptono Adji yang merupakan pensiunan TNI dengan pangkat terakhir yaitu brigadir jenderal (brigjen).
Sementara Brigjen (Purn) Saptono Adji adalah mantan Asisten Khusus Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan).
Masih mengutip dari laman perusahaan tersebut, PT Gag Nikel merupakan pemegang kontrak karya sejak tahun 1998.
Awalnya saham mayoritas PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nikel Pty. Ltd sebesar 75 persen dan PT Antam sebanyak 25 persen.
Namun, pada tahun 2008, PT Antam akhirnya mengakuisisi saham keseluruhan dari PT Gag Nikel.
Sementara, mengutip dari laman Kementerian ESDM, PT Gag Nikel terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017.
Berdasarkan data per 31 Desember 2018, total cadangan nikel PT Gag Nikel tercatat sebesar 47,76 juta wet metric ton (wmt).
Sementara, total nikel dari PT Gag Nikel mencapai 314,44 juta wmt yang terdiri dari 160,08 juta wmt bijih nikel saprolit dan 154,36 juta wmt limonit.
Di sisi lain, dengan skala penambangan sebeesar itu, anak usaha Antam tersebut mampu membangun beberapa rumah tinggal bagi karyawan di sana.
Bahkan, Antam mampu membangun fasilitas berupa dermaga untuk fasilitas sandar kapal penghubung dari Pulau Gag ke Sorong dan Wisai.
Tak hanya itu, Antam juga membangun landasan udara sepanjang 1.500 meter yang bisa didarati oleh pesawat kecil.
Baca Juga: Tutup Izin Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Mufti Anam: Jangan Jadi Manuver Sesaat
Sementara itu, PT Gag Nikel dinilai melakukan pelanggaran karena melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengumumkan PT Gag Nikel (PT GN) melakukan penambangan nikel di lahan seluas 6.000 hektar di Pulau Gag dan melanggar aturan perundang-undangan.
Pelanggaran yang dimaksud terkait aktivtas pertambangan yang dilakukan di pulau kecil.
"Sementara itu, PT Gag Nikel beropeasi di Pulau Gag dengan luas 6.030 hektare. Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," kata KLH dikutip dari siaran pers pada Jumat (6/5/2025).
Sebenarnya, PT Gag Nikel tidak menjadi satu-satunya perusahaan tambang nikel yang dinyatakan melanggar aturan oleh KLH.
Ada tiga perusahaan lain yang juga melanggar aturan, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Untuk PT ASP, KLH menemukan adanya pelanggaran berupa melakukan aktivitas pertambangan tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
Sedang perusahaan Penanaman Modal Asing asal Tiongkok itu melakukan pertambangan nikel di Pulau Manuran dengan luas 746 hektare.
"Di lokasi ini, KLH/BPLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas," ujarnya.
Baca Juga: Izin 4 Tambang di Raja Ampat Dicabut, Komisi VII DPR RI Minta Pemerintah Konsisten
Menteri Lingkungan (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan pihaknya tengah memeriksa dan mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN.
Jika ditemukan adanya aktivitas pertambangan yang melanggar hukum, maka izin lingkungan kedua perusahaan tersebut akan dicabut.
"Penambanga di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi," kata Hanif dikutip dari Tribunnews.
"KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan," kata Hanif.
Selanjutnya, pelanggaran yang dilakukan oleh PT MRP adalah perusahaan tersebut tidak memiliki dokumen lingkungan dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Adapun PT MRP melakukan aktivitas pertambangan nkel di Pulau Batang Pele. Alhasil, seluruh kegiatan ekspolrasi PT MRP harus dihentikan setelah adanya pelanggaran tersebut.
Terakhir yaitu PT KSM melanggar ketentuan karena membuka eksplorasi tambang di luar izin lingkungan di Pulau Kawe.
"Sementara PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas lima hektare di Pulau Kawe," sebut KLH. (*)
Editor : Redaksi