BACASAJA.ID -Vaksin Nusantara (Vaknus) menjadi perdebatan publik, setelah dinyatakan tak bisa lanjut ke uji klijis tahap dua. Namun para ahli tak menyerah.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini mengumumkan pembuatan Vaksin Nusantara (Vaknus) tidak sesuai protap dalam pembuatan vaksin pada umumnya. Maka, vaknus tidak bisa lanjut ke tahap uji klinis II.
Baca Juga: Jadi Polemik Dunia, Vaksin COVID-19 AstraZeneca sudah Tidak Beredar di Indonesia
Pengumuman BPOM nyatanya tidak membuat para peneliti menjadi pasrah. Sebab, penelitian ini termasuk hal baru di dunia, yakni menggunakan dendritik untuk virus infeksi.
BPOM menyatakan Vaknus gagal karena ada efek samping sampai 71 persen. Hal ini diketahui oleh Guru Besar Biologi Molekuler Unair Prof. Chairul Anwar Nidom, melalui media sosial, karena saat dengar pendapat dengan DPR dirinya tidak ikut.
“Nah di sana tim peneliti dari Undip itu memaparkan hasilnya. Jadi menurut saya gagal karena ada efek samping 71 persen itu pembohongan publik. Jadi, kayaknya pihak BPOM ini salah membaca. Nah saya akan membagi permasalahan ini dengan grade 1, 2 dan 3. Kalau grade 1 dan 2 sama dengan kipi (efek samping pasca vaksin. Seperti pegel, ngantuk dan lain sebagainya),” ungkap Prof. Nidom, Minggu (18/4/2021).
BPOM mengatakan, grade 3 ini ada hypertarinia. Kemudian ada BUN (Blood Urea Nitorgen). Kemudian ada kolestrol. “Lalu saya mencoba meneliti lagi dan konfirmasi data dari Undip. Ternyata yang grade 3 hanya kolestrol. Nah kolestrol ini terjadi karena si pasien pada malam harinya tidak puasa. Ini hal yang wajar. Karena pasti ada kecenderungan kolestrol meningkat kan?,” ujar Prof. Nidom, yang sekaligus Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Covid – 19
Baca Juga: Ratusan Keluarga Nelayan Menerima Vaksinasi Covid-19
Menurut Prof. Nidom, penelitian Vaknus ini adalah sebuah teknologi baru yang harus dikembangkan secara berkala. “Jadi pandemi ini ada berkahnya juga, yakni perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Salah satunya ide mengembangkan vaksin kanker menjadi vaksin infeksi. Kalau ini sudah berhasil vaksin konvensional akan mengalami revolusi,” terangnya.
Disinggung soal bagaimana tanggapan tentang penilaian BPOM, Prof. Nidom menjelaskan, bahwa protokol yang digunakan pasti berbeda. Ia khawatir konsep dasar tidak pernah dibuat oleh kedua belah pihak. Sehingga ada perbedaan model vaknus dan vaksin konvensional.
Contoh vaksin konvensional ada uji pada binatang. Sedangkan Vaknus tidak ada. Sebab, bahan vaknus ada 3 bahannya. Dendritik orang divaksin, antigen covid dan bakal penumbuh.
Baca Juga: Hati-hati, Belum Divaksin Lebih Beresiko Terpapar Covid-19
Berbeda dengan vaksin konvensional yang memakai berbagai macam bahan kimia. Sehingga harus dicoba ke hewan. Apakah campuran vaksin konvensional menyebabkan kercaunan atau tidak.
Prof. Nidom menegaskan, bahwa Vaknus harus memiliki protokol sendiri. Kalau belum ada protokolnya harus dirundingkan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
“Kalau BPOM bersikap seperti ini, menggunakan protokol vaksin konvensional ya tidak bisa berkembang ilmu pengetahuan. Kapan kita maju? Kapan peneliti kita bisa menghasilkan inovasi? Memang WHO sendiri belum ada protokol dendritik untuk virus infeksi. Adanya untuk kanker. Nah ini kan kesempatan untuk merundingkan apa yang kita sepakati. Kalau ini berhasil protokolnya pasti akan ditiru oleh negara lain,” tandasnya. (byta).
Editor : Redaksi